A. Seputar Hukum Berjabat tangan dengan lawan jenis
Pembahasan seputar hukum berjabat tangan dengan lawan jenis memang senantiasa akan unik untuk dikaji. Selain karena memang ada ragam pandangan yang berbeda, juga karena dari sisi momentum. Seperti momentum sekitar lebaran seperti saat ini misalnya, dimana banyak yang akan bersalam-salaman dalam berbagai kesempatan halal bihalal dan silaturahmi lainnya. Secara sederhana, pembahasan ini bisa kita bagi menjadi dua bagian besar.
Pertama : berjabat tangan atau menyentuh dengan dorongan syahwat.
adalah berjabat dengan lawan jenis dengan dorongan nafsu syahwat, yang seperti ini hukumnya jelas haram kecuali kepada istri sendiri. Artinya, bersalaman dengan mahrom sekalipun seperti bibi, keponakan,anak tiri, saudara sepersusuan dengan dorongan syahwat dan taladdzud (menikmati) adalah haram, tanpa memandang usia mereka yang berjabat tangan. Dalil dalam masalah ini adalah syaddu ‘dzariah, yaitu pengharaman sebagai upaya pencegahan menuju keharaman yang sesungguhnya. Syeikh Qardhawi menyebutkan ungkapan para ulama dalam Fatwa Muashirohnya : bersentuhan kulit antara laki-laki dengan mahromnya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Kedua : berjabat tangan tanpa dorongan syahwat.
Dalam masalah ini maka jumhur ulama juga menyepakati keharamannya khususnya yang berkenaan dengan wanita secara umum, berdasarkan hadits riwayat dari Abdillah bin Amru : bahwa Rasulullah SAW tidak menjabat tangan wanita dalam bai’at (HR Ahmad). Juga ungkapan Aisyah Ra dalam “Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan (saja) “ (HR Bukhori dan Muslim)
Adapun secara khusus berjabatan tangan dengan wanita yang berusia tua, maka jumhur ulama selain Syafi’iyah membolehkannya karena tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Sedangkan ulama syafi’iyah tetap melarang secara mutlak. ( Lihat : Fiqh Islam wa Adillatuhu : Dr Wahbah Az-Zuhaili).
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. Bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Begitu pula isyarat umum Al-Qur‘an saat membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Hal yang sama juga berlaku pada anak-anak kecil yang tidak mempunyai syahwat, sebagaimana juga disebutkan dalam ayat Al-Quran yang lain. Jadi, dalam masalah ini yang perlu diperhatikan adalah sisi dorongan syahwat, sisi usia, dan juga sisi kebutuhan atau kondisi yang mendesak. Artinya, jika tidak ada alasan dan kondisi yang mengharuskan, maka hendaknya hal yang demikian harus dijauhi.
Dr. Yusuf Qardhawi memang mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dalam masalah ini, beliau cenderung membolehkan dengan syarat-syarat yang amat sangat ketat. Pandangan ini muncul dari penelitian beliau seputar hadits –hadits tentang berjabatan tangan pria dan wanita. Dalam buku Fatwa Kontemporer penelitian dan analisa sudah dituliskan dengan panjang lebar sehingga tidak perlu saya muat kembali disini. Tapi penting bagi kita untuk menyimak kesimpulan beliau diakhir pembahasannya :
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. Dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:
Pertama:
Bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua:
Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.
Wallahu a’lam bisshowab, semoga bermanfaat dan salam optimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar